Jumat, 02 Mei 2014

PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT (BIMA)

MAKALAH
Tentang
PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT
(BIMA)


OLEH KLP: VI
DINI KUSWANTI
NANIK SUSANTI
RONI TITIAN

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2014



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya sehingga makalah Islam Dan Budaya Lokal, tentang “perkawinan dalam perspektif masyarakat (bima)” bisa terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan maksud agar kita bisa memahami  dan mengetahui bagaimana adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya masyarakat lain khususnya perkawinan dalam etnis mbojo “bima”. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan tetapi kami harap agar pembaca bisa memaklumi kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah kami, atas dasar itu kritik dan saran kami harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini dan lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin……










            Penulis

Mataram, 29 maret 2014




BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Istilah “mbojo” yang dipergunakan disini mencakup kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu. Dalam penerjemahan Indonesia, “mbojo” lazim diterjemahkan dengan kata “bima”. Dasar itulah kemudian, penyebutan mbojo selalu identik dengan bima, padahal kata mbojo adalah entitas etnis yang sekarang mencakup kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu.
Pada umumnya, dana mbojo (tanah bima) berbukit-bukit dan terdapat beberapa gunung yang tinggi, sedangkan dataran rendah hanya terdapat di beberapa tempat. Desa-desa dalam wilayah bima pada umumnya terdiri dari beberapa kampung kecil yang disebut rasa (dusun) yang merupakan kesatuan wilayah semata-mata. Sebuah desa biasanya dibatasi pleh bukit kecil, tegalan, kebun, atau sawah. Untuk melindungi kampung dari gangguan hewan-hewan yang berkeliaran biasanya di pinggir rasa (dusun) ditanami pohon bambo atau kedondong. Adapun tanah-tanah yang menjadi tempat mendirikan rumah panggung (uma panggu) oleh penduduk pada zaman dahulu merupakan milik bersama yang dahulu di bawah kekuasaan sultan dan tidak diberikan dasar hak kepemilikan secara perorangan. Sarei uma (halaman rumah) dibatasi dengan pagar-pagar bambo yang rendah atau juga ada yang tak tentu batas-batasnya. Pagar dari bambo tersebut dalam bahasa setempat disebut kabampa rasa.
   Masyarakat bima tebagi menjadi empat bagian atau tingkat. Tingkat-tingkat masyarakat tersebut masih Nampak sampai sekarang, sekalipun perbedaannya sudah tidak setajam dahulu.
a.       Tingkat ruma merupakan lapisan yang paling tinggi dalam masyarakat bima, yaitu orang-orang dari keturunan sultan itu bergelar “ruma sangaji”, sedangkan permaisurinya bergelar “ruma paduka”. Orang dari keturunan sultan pada jalur laki-laki bergelar “ama ka’u”, dan pada jalur perempuan bergelar “ina ka’u”.
b.      Tingkat rato ialah lapisan masyarakat yang berasal dari keturunan ruma bicara sampai kepada jeneli camat. Ruma bicara adalah sebagai pelaksana pemerintahan yang mengemban perintah-perintah sultan. Setiap perintah sultan tidak langsung kepada rakyat, tetapi melalui ruma bicara.
c.       Tingkatan uba. Lapisan ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari turunan gelarang (kepala desa).
d.      Tingkatan ama, lapisan ini merupakan lapisan yang paling rendah yaitu masyarakat awam.

2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana bentuk perkawinan dalam konteks budaya bima?
b.      Apa syarat-syarat perkwninan dalam konteks budaya bima?
c.       Bagaimana tata cara plaksanaan dalam perkawinan budaya bima?

3.      Tujuan
a.       Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perkawinan masyarakat bima
b.      Mengetahui syarat-syarat perkawinan masyarakat bima
c.       Mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan masyarakat bima

4.      Kerangka Teori
a.      Pengertian Perkawinan
Pekawinan adalah suatu peristiwa yang sangat pundamental dalam kehidupan masyarakat, karena perkawinan itu sendiri merupakan landasan pertama dalam mewujudkan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan kelompok masyarakat tidak akan pernah mewujudkan apabila tidak terjadi adanya hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan dalam islam mempunyai makna religius yang amat tinggi nilainya, karena ia bukan hanya merupakan tindakan hukum yang berkaitan dengan sah dan tidaknya, tetapi lebih dari itu. Perkawinan merupakan suatu pertalian hubungan yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sehingga terjadi hubungan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan menjaga keturunan serta mencegah dan menjaga ketentraman jiwa dan keluarganya.
Peminangan dalam agama islam pelaksanaannya diatur menurut cara yang sah, yaitu kedua calon mempelai diharapkan sama-sama saling mengetahui dengan diperbolehkannya melihat sebagian anggota tubuhnya, seperti muka, tangan, dan betisnya. Hal ini dimaksudkan agar kecintaan itu benar-benar mantap dan tidak merasa ragu sehingga pada akhirnya setelah perkawinan tidak menimbulkan kekecewaan atau kekurangpuasan diantara mereka. Contoh demikian dapat dilihat berdasarkan hadis rasulullah saw. yakni :”apabila salah seorang diantara kamu melamar wanita, lalu ketika melihat sebagian anggotanya dapat menarik hati/ mendorongnya kepada mengawininya, maka kerjakanlah”.
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan: nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.
Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah”,  kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”  artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”  artinya telah menggauli di organ kewanitaannya. 
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” .
b.      Pengertian Persfektif
Perspektif berasal dari bahasa italia "Prospettiva" yang berarti gambar pandangan atau sudut pandangan , Perspektif  merupakan sudut pandang atau pandangan seseorang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu.
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERNIKAHAN DALAM KONTEKS BUDAYA BIMA
Pada umumnya, pernikahan di bima dilangsungkan setelah musim panen. Juga pada bulan-bulan bersejarah menurut agama islam, misalnya bulan maulid, rajab, dan zulhijah. Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada paktor ekonomis, yaitu ketetapan pada bulan-bulan tersebut terjadi musim panen. Selain bulan-bulan yang disebutkan ada juga bulan-bulan yang merupakan pantangan untuk dilangsungkan perkawinan. Bulan tersebut adalah bulan zulkaidah. Dalam anggapan masyarakat bima, bulan ini disebut wura hela. Wura artinya bulan dan hela artinya kosong, jadi maksudnya adalah yang diselingi oleh dua hari raya yaitu idul fitri dan hari raya iddul qurban. Dasar pertimbangan mereka tersebut terletak pada factor ekonomi, di mana sebelum bulan zulqaidah mereka baru saja mengadakan perayaan-perayaan sehingga perekonomian menipis dan dalam menghadapi hari raya qurban mereka juga memerlukan persiapan-persiapan seperlunya.
Adapun tujuan perkawinan menurut adat bima adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memenuhi kehendak agama. Masyarakat mbojo adalah masyarakat yang panatik terhadap agama islam. Perkawinan dilaksanakan sesuai dengan anjuran dalam agam islam, yakni untuk menghindari manusia dari perbuatan terlarang seperti berzina dengan wanita yang belum dinikahi.
2.      Untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tujuan ini melekat pada setiap perkawinan, hanya mungkin kadarnya yang berbeda.bila diperhatikan kondisi yang terjadi dalam masyarakat bima bahwa tujuan perkawinan yang dilakukan juga untuk memenuhi kebutuhan seksual
dan hak tersebut bersifat manusiawi.
3.      Untuk meneruskan keturunan.
4.      Untuk status sosial. Tujuan perkawinan dalam etnis mbojo dalam masyarakat bima adalah menyangkut urusan kerabat karena dengan adanya perkawinan akan menyebabkan lahirnya generasi baru yang meneruskan kerabat tersebut. Urusan status sosial dalam adat perkawinan etnis mbojo memegang peran yang penting, bahkan pekerjaan seseorang pemuda sangat menentukan berhasil tidaknya di dalam meminang seorang yang diidamkan.
Di kalangan etnis mbojo dikenal dua bentuk perkawinan yang lazim menurut istilah setempat, yakni perkawinan yang dikehendaki oleh adat dan bentuk yang menyimpang dari kehendak adat pada umumnya. Perkawinan yang dikehendaki oleh adat dinamakan perkawinan yang baik disebut “londo taho”, londo tabo adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga dengan didahului oleh pinangan pihak laki-laki kepada orang tu si gadis melalui cara-cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan adat “londo iha” sering disebut “selarian”, sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila pinangan dilaksanakan.
Londo tabo atau perkawinan biasa menurut etnis mbojo disebut perkawinan yang baik, hanyalah perkawinan yang didasarkan atas persetujuan pihak keluarga gadis berdasarkan lamaran dari pihak pemuda. Pemuda terlebih dahulu mengadakan hubungan percintaan dengan calon istrinya atau gadis idamannya. Pelaksanaan peminangan bagi etnis mbojo dilaksanakan menurut adat yang berlaku, yaitu melalui seorang juru pinang yang disebut “ompu panati”, ompu panati atas nama keluarga si pemuda menyampaikan niat dan tujuan si pemuda kepada orang tua si gadis dengan menggunakan bahasa yang disusun rapi, sopan serta menarik.
Bila pihak orang tua gadis menyetujui pinangan tersebut, mulailah dibicarakan pelaksanaan perkawinan dalam waktu yang dekat atau dalam jangka waktu yang tidak lama lagi. Dalam hubungan ini, kedua belah pihak sudah mulai membuat persiapan dengan didahului oleh musyawarah antara keluarga masing-masing yang menyangkut waktu pelaksanaan upacara, pembiayaan, serta besarnya masing-masing sumbangan anggota keluarga.
Disinilah tampak semangat gotong royong dan kuatnya tali kekeluargaan. Perkawinan yang demikian itu merupakan cita-cita bagi semua orang tua etnis Mbojo yang dalam hidupnya memiliki anak gadis atau “Sampela Siwe” atau pemuda “ Sampela Mone”. Sering terjadi seorang pemuda dan seorang gadis saling mencintai satu sama lain, mereka telah sepakat melangsungkan perkawinan, tetapi orang tua si gadis telah mempunyai pilihan lain, yaitu seorang pemuda yang munurutnya sangat sesuai dengan seleranya. Tidak penting apakah pemuda tersebut dicintai oleh anaknya, maka lamaran pemuda akan ditolak secara halus minsalnya dengan kata-kata kiasan, “tiloa campo wara ra macampa na” , atau dengan kata, “anak gadisnya masih kecil” dan sebagainya. Maka  tidak ada jalan lain bagi kedua insan yang telah bercinta tersebut, kecuali berlari menuju ke rumah penghulu.
Perkawinan dengan cara selarian dianggap sebagai Londo Iha, artinya perkawinan yang tidak baik. Biasanya perkawinan dengan cara selarian menyebabkan keretakan hubungan keluarga dari masing – masing pihak. Seharian juga kerana timbulnya keraguan – raguan salah satu pihak, mungkin si pemuda berkeyakinan bahwa si gadis telah memiliki pemuda lain, padahal mereka telah menjalin ikatan janji. Dalam kasus ini juga terdapat penyelesaian yang baik bilamana orang tua gadis memaafkan si pemuda yang membawa lari anak gadisnya. Selain faktor-faktor tersebut, status sosial si pemuda munurut anggapan orang tua gadis sesuai dengan status sosial anaknya, atau mungkin karena tidak adanya persesuaian tentang besarnya “co’i” yang dikehendaki oleh orang tua si gadis.

B.     SYARAT – SYARAT  PERNIAHAN MASYARAKAT BIMA
Masyarakat bima telah meletakkan syarat-syarat untuk kawin sepenuhnya didasarkan pada hukum Islam. Syarat itu, dalam mengenai jumlah co’i atau mas kawin tidak ditentukan jumlahnya, juga persetujuan pihak orang tua gadis dapat dianggap sebagai syarat yang cukup menentukan dapat tidaknya suatu perkawinan dilangsungkan.
Namun, apabila pihak orang tua gadis yang kurang setuju tarhadap pemuda yang melamar anaknya, jelas untuk menolak lamaran ecara terang-terangan dianggap kurang menghormati perasaan. Maka, dari itu, caranya adalah dengan mengajukan permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak ada persetujuan jumlah co’i dan persetujuan orang tua si gadis dapat diterima atau tidak. Dengan kata lain, kedudukan untuk menentukan pilihannya memang dimungkinkan , tetapi pada akhirnya orang tua dan kerabatnyalah yang menentukan apakah pilihan tersebut sesuai atau tidak.
Dalam etnis mbojo, perkawinan anak kadang-kadang dilakukan di masa lalu dengan istilah “cepe kanefe”. Prkawinan cara ini  mengharuskan kedua belah pihak hingga aqil balig tidak ikut campur. Ini menunjukkan bahwa umur sama sekali menjadi persyaratan kawin.
Di kalangan etnis mbojo, seorang wanita yang tidak menikah hingga tua di usia tuanya dinamakan “mbaru tua”.

C.    PELAKSANAAN PERNIKAHAN ADAT BIMA

1.      Tradisi Sebelum Perkawinan
a. Cara Memilih Jodoh
Sebelum sampai ke jenjang perkawinan, seorang pemuda atau “sampela mone” dan seorang gadis atau “sampela siwe” dalam etnis mbojo terlebih dahulu mengadakan hubungan  kasuh saying atau percintaan. Hubungan tersebut di dalam masyarakat bima di sebut “ne’e angi”. Di dalam masa ne’e angi, baik pemuda maupun gadis mbojo tidak mungkin untuk lebih banyak bergaul dan bertukar pikiran secara langsung dengan “sodi angi” atau pacaran. Sebab seorang pemuda akan sangat segan unuk ke rumah si gadis pujaannya, demikian juga si gadis sangat takut untuk menjamu si pemuda tersebut dengan disaksikan oleh orang tua dan keluarganya. Pendek kata, masih ada beberapa masyarakat bima etnis mbojo yang terikat dengan adat istiadat. Namun demikian, ada fasilitator yang digunakan untuk memfasilitasi hubungan pemuda dan gadis adalah dalam pesta perkawinan, pasar, perjalan, dan tontonan atau ketika sedang bercocok tanam.tetapi pemuda dan pemudi dalam etnis mbojo sangat peka terhadap perasaan masing-masing.
Isyarat yang paling menonjol adalah keinginan untuk melihat di balik “rimpu” (pakaian muslim mbojo sejenia cadar) hubungan tersebut akan sampai pad suatu saat dimana seorang pemuda atau gadis setuju untuk melangsungkan  perkawinan atau nikah, dan tindak lanjutnya seorang pemuda menyampaikan maksudnya kepada orang tuanya.
 Dan jika kedua orang tua setuju atas kehendak naknya, maka orang tua si pemuda akan mengutus  ompu panati untuk meminang gadis yang dicintainya. Tetapi pinangan tersebut tersebut tidak diikuti dengan perkwinan dengan segera. Inilah disebut “lao sodi siwe” atau menanyakan status soerang gadis dan apabila lamaran diterima, maka terikatlah pemuda dan gadis itu dalam hubungan pertunangan.
Jadi kebiasaan etnis mbojo dalam memilih jodoh, pada dasarnya seorang gadis harus tunduk pada keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Inilah perkawinan sebaik-baik etnis mbojo.

b. Wi’i Nggahi
Wi’i nggahi dalam etnis mbojo masyarakat bima, yaitu apabila lamaran sudah diterima oleh orang tua dan keluarga si gadis,  maka semua keluarga si pemuda akan merasa lega termasuk juga ompu panati. Pemuda dan si gadis berada dalam masa saat bertunangan resmi disebut “sodi angi” dan dalam upacaranya disebut “wi’I nggahi”, artinya pemberian sesuatu sebagai tanda pertunangan yang resmi. Dalam prosesi adat ini, rombongan pihak pemuda  membawa barang-barang keperluan si gadis, seperti cincin, minyak wangi, bebrapa lembar pakaian dan puncaknya adalah pada saat dipasangnya sebuah cincin pada jari manis si gadis yang biasanya dilakukan olah adik perempuan si pemuda.
Tujuan dari upacara ini sebagai peresmian pertunangan dan sebagai permklumam kepada mereka yang menyaksikan upacara tersebut. Dalam rangkaian adat perkawinan etnis mbojo, upacara wi’I nggahi ini akan membawa beberapa konsekuensi antara lain bahwa tunagnan sudah resmi. Dengan demikian, kedua belah pihak kini berada di ambang pelaksanaan  perkawinan. Pihak calon suami semakin bertanggung jawab terhadap kehidupan calon istrinya dan pada saat yang memungkinkan calon suami suami akan membawa barang-barang untuk keperluan calon istrinya. Pihak calon suami setelah peresmian perttunangan, seringkali harus mengabdi kepada calon mertuanya. Di dalam etnismbojo hal yang demikian “ngge’e nuru” di mana calon menantu bekerja di sawah, lading, rumah, dan atau di mana saja sesuai keinginan dan perintah calon mertua.

c. Penentuan waktu karawi
Penentuan waktu karwi dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga. Orang tua si pemuda mengundang keluarga terdekat seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk “mbolo keluarga” atau bermusyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan yang bertujuan untuk menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat bergotong royong memiliki biaya. Musyawarah keluarga tersebut akhirnya memutuskan pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut segera disampaikan oleh ompu panati kepada pihak keluarga si gadis. Dalam ungkapan bahasa bima, kalimat-kalimat yang dilakukan ompu panati sebagai berikut “mai kabouku nggahi ra wi’I kai warasi tadir allah, bunesi ntika nggahi ra wi’I de takalmpa rawiku wura ake”, artinya lebih kurang bahwa “kami datang menyambung kata-kata yang disampaikan dan diniatkan bersama kemarin, sekiranya tuhan menghendakinya, maka alangkah baiknya kita melaksanakan hajat (perkawinan) pada bulan ini”.
Dengan adanya pemberitahuan tersebut, maka keluarga pihak gadislah yang kemudian menentukan waktunya secara lebih terperinci mengenai hari dan tanggal pelaksanaannya.

d. Pengantar Mahar/ Wa’a Co’i
Wa’a co’i artinya upacara pengantaran barang dan uang yang menjadi maskawin dalam perkawinan. Upacara wa’a co’i selalu dihadiri oleh wakil-wakil dari calon pengantin laki-laki dan wakil dari calon pengantin perempuan dengan disaksikan oleh penghulu, kepala desa, pemuka masyarakt lainnya, serta para anggota kerabat kedua belah pihak. Upacara wa’a ci’I ini dilakukan, baiknya pada pagi hari maupun sore hari, sangat tegantung jauh dekatnya rumah orang tua calon pengantin putri. Demikian pula besar anggota rombngan anggota wa’a co’I sangat tergantung dari jumlah barang yang dibawa sebagai maskawin sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak keluarga calon pengantin putra adalah ompu panati.
Bila rombongan pengantar telah tiba dirumah orang tua pengantin putrid, mereka diterima oleh orang tua calon pengantin. Upacara tersebut diadakan di paruga, yakni bangunan bambu dan beratapkan daun kelapa dan alang-alang yang di bangun khusus untuk upacara tersebut. Terkadang penyerahan mahar banyak dilakukan dengan pembuatan berita acara penyerahan yang berisi jumlah dan harga barang. Berita acara tersebut ditanda-tangani oleh pihak pengantin putra disaksikan oleh beberapa orang pemuka  masyarakat dan wakil dari calon pengantin putri. Pembuatan berita acara pembayaran co’i tersebut untuk menjaga menjaga kemungkinan di kemudian hari dan berdasarkan pengalaman seringkali co’i tersebut tidak dibayar dengan lunas jika terjadi perselisihan atau perceraian diantara suami istri dan co’i yang belum dibayar juga harus diselesaikan. Jika tidak ada bukti tertulis, seringkali perselisihan ini berakhir ke meja pengadilan. Dengan cara pembuatan berita tersebut, calon pengantin putri tidak perlu khawatir akan kemungkinan- kemungkinan yang terjadi.
Mengenai jumlah co’i, biasanya mula-mula ditentukan oleh pihak keluarga calon pengantin putrid. Tetapi unsur musyawarah tetap memberikan kemungkinan tawar-menawar sehingga jumlah yang lebih tinggi menurut permintaan keluarga calon pengantin putri dapat dikurangi berdasarkan persetujuan bersama.

2.      Adat Dalam Prosesi Pelaksanaan Perkawinan
a. Kapanca
Kebiasaan yang terjadi pada etnis mbojo, sebelum akad nikah dilakukan baik calon pengantin tetap tinggal di rumah masing-masing, tetapi untuk pertemuan pertama untuk kedua calonpengantin terebut sudah disediakan “uma ruka” yang dilengkaapt dengan perabot yang memadai. Sedangkan untuk pengantin putrid dilaksanakan sebuah upacara yang disebut kapanca. Upara ini bertujuan untuk mengantarkan calon pengantin putrid ke gerbang perkawinan secara simbolis. Upacara ini hanya dihadiri oleh orang-orang wanita, tamu-tamu istri-istri orang terpandang di desa untuk memberikan restu menjelang beberapa saat akad nikah dilaksanakan. Di dalam prosesi upacara kapanca, sang calon pengantin duduk di atas tempat yang sudah disiapkan, kemudian para tamu satu persatu mendekati calon pengantin sambil menggosokkan daun pacar yang telah dihaluskan pada kuku dan kaki calon pengantin putri.
Pada saat pelaksanaan upacara kapanca tersebut, diadakan zikiran oleh para tamu dan pembacaan berzanji yang diambil dari buku “syaraful anam”. Setelah selesai pembacaan berzanji, ditutup dengan pembacaan do’a, maka para tamu baik laki-laki maupun perempuan dijamu dengan jamuan khusus sampak berahirnya upacara kapanca tersebut.

b. Akad Nikah
Pada hari kedua yaitu setelah keesokan harinya dari upacara kapanca, maka dilangsungkan acara inti, yaitu akad nikah. Akad nikah ini biasa berlangsung sore hari. Pihak keluarga laki-laki mengundang beberapa orang tetangga dan orang sedesanya untuk mengantar pengantin laki-laki ke rumah keluarga pengantin perempuan. Acara jamuan berlangsung kira-kira bakda asar. Sedang dari pihak perempuan tidak ketinggalan pula mengumpulkan para undangan untuk menjemput kedatangan rombongan mempelai laki-laki. Rombongan tersebut diiringi dengan suara dan nyanyian rebna sambil zikir, yaitu melagukan syair arab yang menceritakan tentang sejarah hidup nabi Muhammad saw. Barisan dalam kelompok badra ini sekurang-kurangnya tiga orang dari laki-laki baik yang tua maupun yang muda dengan gerak tangan yang lemas dan goyangan pinggul yang aduhai.
Stelah rombongan mempelai laki-laki tiba dirumah mempelai perempuan, langsung dijemput dan dipersilahkan duduk di ruang pengantin perempuan yang telah sabar dan menunggu untuk dinikahkan. Maka dimulailah  acara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah  oleh penghulu dan dilanjutkan ijab Kabul oleh wali dan pengantin perempuan terhadap pengantin laki-laki di hadapan saksi.

c. Hengga Dindi (Membuka Tabir)
Upacara ini dimaksudkan sebagai pengantar pengantin pria untuk menemui pengantin wanita yang sejak di uma ruka ini berada dalam kamar khusus bersama “ina bunti” (pengasuh pengantin wanita). Sebelum masuk ke kamar tersebut, pengantin laki-laki tidk diperkenankan untuk masuk begitu saja dalam kamar, akan tetapi harus melalui proses yang telah diikemas dalam upacara hengga dindi. Upaca ini dimulai oleh pengantin pria yang didampingi gelararang, lebe, danbeberapa orang tokoh adat menuju kamar pengantin putrid dan berdiri di luar “dindi satampa” (tabir pemisah).
Acara diawali oleh ompu panati sebagai juru bicara pengantin pria dengan membaca salawat sebanyak tiga kali, yang dilanjutkan dengan member salam kepada ina bunti sebagai juru bicara pihak pengantin wanita. Dengan bahasa daerah yang indah memohon kepada ina bunti agar sudi kiranya menerima kehadiran pengantin pria. Selanjutnya terjadi dialog yang indah antara kedua juru bicara ini, hingga sampai pada saat pembuktian apa yang dibawa oleh pengantin pria yang  diperagakan melalui pelemparan beberapa keeping uang logam yang dilakukan hingga tiga kali. Setelah itu tabir  pembatas dibuka dan pengantin pria diizinkan memasuki kamar pengantin wanita.

d. Nenggu Atau Cepe Jungge (Menukar Kembang)
Istilah “nenggu” yakni upacara adat memasang tiga tangkai jungge (kembang) ke sanggul pengantin putri. Upacara ini disebut “cepe jungge” (mengganti kembang), karena terdapat tiga tangkai bunga yang terbuat dari kertas yang memiliki warna yang berbeda, yaitu terdiri dari jungge kala (kembang warna merah), jungge monca (kembang warna kuning),  dan jungge bura (kembang warna putih). Disebut pengganti kembang karena proses pemasangannya secara bergantian sesuai dengan keinginan pengantin putri.
Pengantin laki-laki bersama ompu panati mendekati pengantin putrid yang sedang duduk diatas pelamunan. Pengantin pria menyerahkan jungge kala (kembang  warna merah) kepada pengantin putri sebagai pernyataan bahwa pengantin pria adalah seorang yang berani dan perkasa yang akan sanggup melindungi pengantin putri dan sanggup menafkahi baik nafkah lahir maupun nafkah batin dengan sehidup dan semati. Pemberian kembang ini  ditampik untuk selanjutnya diusulkan pula dengan jungge monca (kembang warna kuning) sebagai pemberitahuan bahwa pengantin laki-laki dalam kehidupan keseharian bersama orang tuanya suka berjiwa sosial suka membantu orang lain dan aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, dan ditampik pula oleh pengantin putri karena kesemuanya itu tidak aka nada artinya tanpa keikhlasan dan kesucian hati. Untuk menyempurnakan maka diusulkan pula dengan member jungge bura (kembang warna putih) sebagai lambang kesucian hati dan keikhlasan pengantin pria menerima pengantin wanita sebagai pendamping hidupnya. Dan kembang warna putih itupun diterima oleh pengantin wanita dengan perasaan riang karena kejayaan dan keberanian baru berarti apabila disertai dengan kesucian dan keikhlasan hati.

e. Pamaco
Upacara pamaco adalah upacara yang dilaksanakan setelah kedua pengantin tiba di berugak di hadapan para undangan. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada sore hari dan prosesi upacara pamaco ini diawali dengan salah seorang keluarga pengantin pria, kemudian para undangan yang terdiri dari kaum wanita dipersilahkan memberikan uang atau barang begitu juga para undangan laki-laki. Prosesi jambuta atau pamaco ini dilakukan di paruga dan dinuat di depan rumah orang tua pengantin pria. Selain bertujuan untuk meminta do’a restu para anggota masyarakat, sahabat, dan kenalan, juga untuk memberikan sumbangan berupa uang atau barang oleh masyarakat kepada kedua pengantin.

F. Adat Sesudah Pamaco
Sekalipun dalam praktiknya etnis mbojo menyangkut tempat tinggal setelah kawin terserah kepada kedua pengantin untuk menentukannya, tetapi dasar-dasar adat telah menetapkan bahwa tempat tinggal bagi keluarga baru tersebut adalah seharusnya di uma (rumah) yang dibuat sebelum kawin. Uma tersebut dalam etnis mbojo ditetapkan sebagai co’i. uma selalu didirikan disamping rumah keluarga pengantin putri.
            Setiap perkawinan tidak selalu menyediakan rumah terlebih dahulu. Memang dalam co’i selalu disebutkan uma hal pertama yang harus dibayar oleh calon pengantin laki-laki, akan tetapi seringkali uma dihargai dan dinilai tidak sebanding dengan harga rumah yang sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa kemungkinan yakni kemungkinan suami mewarisi rumah dari kedua orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu, kemungkinan suami harus tinggal di dekat daerah pertaniannya sendiri, kemungkinan si istri adalah anak tunggal dan karena itu teramat dicintai oleh orang tuanya sehingga sulit untuk memisahkan diri dari sisi orang tuanya. Pola perkampungan penduduk sebenarnya menyulitkan untuk menentukan secara pasti tempat tinggal sesudah kawin. Karena beberapa rumah berada dalam jarak yang terlalu dekat, namun dimanapun keluarga baru tersebut bertempat tinggal sama sekali tidak mengurangi rasa hormat menghormati antara suami istri, antara keluarga kedua belah pihak atau antara mereka dengan masyarakat.































BAB III
PENUTUP
Kesimpulan 1
1.      Bentuk perkawinan pada etnis  dalam masyarakat bima ada dua macam yaitu: pertama, nika taho adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarganya dengan didahului oleh pinangan dari pihak laki-laki kepada pihak orang tua si gadis melalui cara-cara yang ditentukan oleh adat. Kedua, nika iha atau londo iha sering disebut selarian sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu kedua belah pihak tidak menyetujui rencana perkawinan, dengan tata cara adat tidak dipenuhi.
2.      Etnis mbojo dalam masyarakat bima merupakan penganut agama islam yang taat dan mayoritas, maka hukum islam dilaksanakan secara utuh dalam syarat perkawinan seperti wali, saksi, akad dan maskawin atau co’i. demikian pula larangan-larangan perkawinan yang telah ditetapkan oleh hukum islam diikuti sepenuhnya.
3.      Tata cara pelaksanaan adat perkawinan etnis mbojo dalam masyarakat bima diawali dengan panati, yaitu melamar yang dilaksanakan oleh pihak sampela weki melalui seorang juru lamar yang disebut ompu panati. Apabila prosesi panati diterima selanjutnya dengan wi’i nggahi yaitu lamaran yang diterima selanjutnya dilakukan pengantaran mahar atau wa’a co’i. Pada proses pelaksanaan perkawinan diawali dengan kapanca yang berarti untuk mengantarkan calon pengantin putri ke gerbang perkawinan, lalu dilanjutkan  dengan akad dan setelah akad, pamaco dan jambuta.

Kesimpulan ke-2
Adat dan upacara perkawinan etnis mbojo erat hubungnnya dengan ketenuan-ketentuan didalam ajaran agama penduduknya, yakni agama islam. Hal ini di sebabkan karena etnis mbojo adalah penganut agama islam yang fanatik.
Dan keselruhan adat dan tata cara perkawinan etnis mbojo, tampak dengan jelas semangat keutuhan keluarga dan masyarakat sifat kegotong royongan diantara mereka. Sifat musyawarah dan kegotong royongan masyarakat khususnya dalam adat dan perkawinan akan terus berjalan sampai waktu yang tak dapat diramalkan. Sifat kegotong royongan yang Nampak dengan jelas di dalam etnis mbojo patut dihormati ,demikian pula semangat musyawarah didalam kehidupan berkelurga dan bermasyarakat merupkan inti dalam pelaksanan setiap upacara perkawinan.
Namun persoalannya adalah,bagaimana islam memandang adat ataupun tradisi. Urian berikut ini akan menjelaskan sudut pandang islam tentang pelaksanaan pernikahan dalam budaya bima.

A.    MAHAR
Analisis mengenai perkawinan yang ada di bima yang terkait dengan mahar (co’i) yang dimana kami kurang sependapat mengenai masalah mahar  yang ditentukan oleh orang tua si gadis, memang si gadis lah yang menetukan mengenai mahar itu tapi di balik itu semua si gadis harus tunduk kepada perintah orang tuanya sedangkan dalam hadist disebutkan, wanita lah yang menetukan maharnya apa, bukan orang tua. Tentaang mahar ini disebutkan dalam beberapa hadist sebagai berikut ”Dari amir bin Rabi’ah seorang perempuan bani fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sendal. Raululah SAW bersabda apakah engkau relakan  dirimu dan milikmu dengan sepasang sendal”?.jawaban ya. setelah itu beliau membenarkan “(HR.ibnu majah dan Tirmidzi).
Bisa disimpulkan mengenai mahar ini wanita lah yang menentukannya kecuali ada kesepakatan dari si wanita bahwa orang tuanya yang akan menentukannya, tapi kalau tidak ada kesepakatan dari si wanita maka orang tua tidak punya hak untuk memaksakan anaknya harus tunduk kepada perintahnya mengenai mahar ini.

B.     MENGENAI ATURAN BAKU
Pernikahan atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan maka calon dianggap tidak sopan. Untuk itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
Kami rasa aturan ini tidak adil karena hanya dengan berpapasan dengan calon mertua saja bisa membatalkan perkawinan , padahal jika kita fikir itu bukanlah salah satu masalah yang serius untuk membatalkn perkawinan yang sudah begitu terencana. Bisa saja si pria tidak sengaja berpapasan dan itu bukan keinginannya.


DAFTAR PUSTAKA
Fachrir Rahman M.A, Antologi Hasil Penelitian Islam Lokal Ntb,Cv Kaysamedia, Iain Mataram, 2009.
Fachrir Rahman M.A, Pernikahan Di Nusa Tenggara Barat Antara Islam Dan Tradisi, LEPPIM Iain Mataram, 2013.
Fachrir Rahman M.A, Islam Di Bima, Pejeruk Mataram, 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar