BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Surah al Humazah ini
terdiri dari 9 ayat, tergolong surat-surat Makkiyah dan diturunkan setelah
surat Al Qiyamah. Kaitannya dengan surat Al ‘Ashr ialah ketika Allah di dalam
Surat Al ‘Ashr menyebutkan bahwa semua persoalan manusia bergelimang dalam
kesesatan, kecuali orang yang dilindungi Allah, lalu di sini Dia menyebutkan
sebagian sifat-sifat orang yang sesat itu.
Surat ini bercerita tentang kecelakaan
yang akan dialami oleh orang yang suka mengumpat dan mencela. Mengumpat adalah
mencaci maki dan menjelek-jelekkan orang lain secara terang-terangan ketika
orang yang dicaci maki itu ada di hadapannya. Sedangkan mencela, biasanya
dilakukan ketika orang yang dicela itu tidak ada. Orang yang senang mengumpat
disebut pengumpat.
Pada zaman Nabi
Muhammad SAW terdapat seorang musyrik yang bernama Al-Akhnas bin Syuraiq. Dia
adalah orang yang sangat membenci Nabi SAW. Setiap bertemu Nabi dia mencaci
maki beliau. Jika Nabi tidak ada, dia menjelek-jelekkan beliau di depan orang
banyak. Karena itu, Allah menurunkan surat Al Humazah yang menjelaskan bahwa
orang seperti itu akan celaka.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana
tafsiran ayat surat Al-Humazah?
b. Apa
asbabun nuzul dari ayat al-humazah?
c. Bagaimana
aspek komunikasi dalam surat al-humazah?
C.
Tujuan
Supaya para pembaca bisa mengatahui apa tafsiran
dari setiap ayat pada surat Al-Humazah, asbabun nuzulnya serta aspek komunikasi
yang dipakai dalam surat al-humazah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TAFSIRAN SURAH AL-HUMAZAH
(QS
Al Humazah [104]: 1 – 9)
Terjemahan
|
Text Qur'an
|
Ayat
|
Kecelakaanlah bagi
setiap pengumpat lagi pencela,
|
وَيْلٌ لِكُلِّ
هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
|
1
|
yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitungnya, [maksudnya
mengumpulkan dan menghitung-hitung harta yang karenanya dia menjadi kikir dan
tidak mau menafkahkannya di jalan Allah].
|
الَّذِي جَمَعَ مَالا
وَعَدَّدَهُ
|
2
|
dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengekalkannya,
|
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ
أَخْلَدَهُ
|
3
|
sekali-kali tidak!
Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
|
كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي
الْحُطَمَةِ
|
4
|
Dan tahukah kamu apa
Huthamah itu?
|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا
الْحُطَمَةُ
|
5
|
(yaitu) api (yang
disediakan) Allah yang dinyalakan,
|
نَارُ اللَّهِ
الْمُوقَدَةُ
|
6
|
yang (membakar) sampai
ke hati.
|
الَّتِي تَطَّلِعُ
عَلَى الأفْئِدَةِ
|
7
|
Sesungguhnya api itu
ditutup rapat atas mereka,
|
إِنَّهَا عَلَيْهِمْ
مُؤْصَدَةٌ
|
8
|
(sedang mereka itu)
diikat pada tiang-tiang yang panjang.
|
فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ
|
9
|
Di antara
penyakit lisan (Aafatul Lisan) yang sangat berbahaya adalah mengumpat
dan mencela. Ayat di atas menjelaskan betapa dahsyatnya ancaman bagi pengumpat
dan pencela.
Umpatan dan Celaan
adalah Ujian Dakwah
Surat Al
Humazah adalah termasuk deretan Surat Makkiyah, yaitu surat yang turun sebelum
Rasulullah saw dan gangguan yang terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan
dakwah. Ini juga contoh konkret dari tribulasi dakwah yang bisa terjadi pada
sosok da’i, di mana dan kapan saja. Jadi, hal ini sunnatullah dalam
dakwah sehingga tidak boleh membuat juru dakwah putus asa, pesimis dan loyo
apalagi sampai meninggalkan dakwah hanya karena tak tahan menghadapinya.
Dalam kajian
Sayyid Quthb rahimahullah surat ini memberi gambaran sosok pencela
yang kerdil jiwanya karena telah dikuasai harta sehingga menganggap harta
adalah nilai (value), variabel atau standar tertinggi dalam kehidupan.
Maka, ketika ia bergelimang harta, ia merasa telah memiliki dan menguasai harga
diri manusia. Puncaknya, ia menganggap harta adalah tuhan yang maha kuasa,
mampu berbuat apa pun, sampai-sampai mampu menolak kematian dan mengekalkan
kehidupan serta menolak qadha' (ketentuan) Allah, hisab
(audit)-Nya dan jaza' (balasan)-Nya, jika ia masih memandang adanya
hisab dan balasan.
Mengumpat dan Mencela,
Sifat Orang Kafir
Sederet nama di
atas, jika riwayat-riwayat tersebut shahih, adalah musuh bebuyutan dakwah di
zaman Nabi saw. Mereka sangat populer sepak terjangnya dalam memusuhi Nabi saw
dan orang-orang beriman. Hal ini memberikan pemahaman bahwa mengumpat dan
mencela adalah sifat dan karakter orang kafir. Karenanya, Islam membenci
perilaku buruk dan menyebutkannya dalam banyak ayat Al Qur'an.
AYAT 1
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
“ Wail bagi
pengumpat dan pencela”
Kata ( وَيْلٌ
) wail digunakan untuk menggambarkan
kesedihan, kecelakaan, dan kenistaan.kata ini juga digunakan untuk mendoakan
seseorang untuk mendapatkan kecelakaan dan kenistaan itu. Dengan demikian ia
dapat menggambarkan keadaan buruk yang sedang atau akan dialami. Banyak ulama
memahaminya dalam arti kecelakaan atau kenistaan yang akan dialami, dan dengan
demikian ia akan menjadi ancaman buat pengumpat dan pencela. Sementara ulama
berpendapat bahwa wail adalah nama satu lembah dineraka, yang melakukan
pelanggaran tertentu akan tersiksa dineraka.[1]
Kata al-humazah adalah bentuk jamak dari kata
hummaz yang terambil dari kata al-hamz yang pada mulanya berarti tekanan dan dorongan yang keras. Huruf
hamzah dalam alfabeth bahasa
arab,dinamai demikian karena posisi lidah dalam pengucapannya berada diujung
tenggorokan sehingga untuk mengucapkannya dibutuhkan semacam dorongan dan
tekanan. Kalimat hamazat asy-syayathin
berarti dorongan-dorongan syetan untuk
melakukan kejahatan. Pengertian itu berkembang sehingga ia diartikan dengan
mendorong orang lain dengan lidah (ucapan) atau dengan kata lain menggunjing,
mengumpat, sisi negatif (mencela) orang lain tidak dihadapan yang bersangkutan.
Dengan makna lain adalah ghibah.
Ada 6 yang
dikecualikan dari larangan di atas, dengan kata lain agama dapat membenarkan seseorang menyebut kejelekan
orang lain dibelakang yang bersangkutan, selama salah satu yang disebut dibawah
ini terpenuhi, yaitu :[2]
1.
Mengadukan penganiayaan yang dialami seseorang
kepada pihak yang diduga dapat mengatasi penganiayaan itu.
2.
Mengharapkan bantuan dari siapa yang disampaikan kepadanya
keburukan itu, agar keburukan itu dapat tersingkirkan.
3.
Menyebut keburukan dalam rangka meminta fatwa
keagamaan.
4.
Menyebut keburukan seseorang dengan tujuan memberi.
5.
Membicarakan keburukan seseorang yang secara
terang-terangan dan tanpa malu melakukannya.
6.
Mengidentifikasi seseorang atau memberinya gelar
atau ciri tertentu, yang tanpa hal tersebut yang bersangkutan tidak terkenal.
Kata (لُّمَزَةٍ
) lumazah adalah bentuk jamak dari (lammaz) yang terambil dari kat (al-lamz). Kata ini digunakan untuk
menggambarkan ejekan yang mengundang tawa. Sementara ulama berpendapat bahwa al-lamz adalah “mengejek dengan
menggunakan isyarat mata atau tanagn yang disertai dengan kata-kata yang
diucapkan secara berbisik, baik yang dihadapan maupun dibelakang orang yang diejek.
AYAT 2-3
الَّذِي
جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ , يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَه
“Yang menghimpun harta
dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya”
Setelah ayat yang lalu
mengecam pengumpat dan pengejek, ayat-ayat diatas mengisyaratkan salah satu
perbuatan itu yakni pengumpat atau pengejek itu adalah orang yang menghimpun
harta yang banyak dan sering kali menghitung-hitungnya, itu dilakukan karena ia
mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya.
Kata (mal) dari segi bahasa mulanya berarti cenderung atau senang. Agaknya dinamai demikian, karena hati
manusia selalu cenderung dan senang kepadanya.
Kata ( عَدَّدَهُ
) ‘addadahu terambil dari kata ‘adda yang dapat dipahami dalam arti
menghitung atau menganekaragamkan atau menyiapkan. Kata tersebut menggambarkan
bahwa si pengumpat yang mengumpulkan
harta itu tidak sekedar mengumpulkannya, tetapi dia begitu cinta kepada harta
sehingga dari saat-kesaat dia menghitung-hitungnya, dan dia begitu bangga
dengannya sehingga memamerkannya. Atau menjadikannya beranekaragam dengan
membeli berbagai ragam benda. Seperti sawah, ladang, kendaraan, rumah, pershiasan
dan sebagainya dan juga dalam arti mempersiapkan untuk kebutuhan anak
keturunannya. Betapapun, kesemuanya itu bermuara pada satu maksud bahwa yang
bersangkutan amat cinta kepada harta benda dan amat kikir.[3]
Kata (akhladahu) terambil dari kata (al-khuld) kekal. Kata yang digunakan
pada ayat ini berbenrtuk kata kerja bentuk lampau (madhi) tetapi maksudnya
adalah masa datang (mudhari). Ini untuk mengisyaratkan betapa mantap dugaan itu
dalam diri yang bersangkutan sehingga seakan-akan kekekalan tersebut sudah merupakan
kepastian seperti pastinya sesuatu yang telah terjadi.
AYAT 4-5
كَلَّا ۖ
لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ , وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ
“Tidak ! Dia pasti akan dilemparkan kedalam
khutamah. Apakah yang menjadikan engkau mengetahui apakah al-khutamah”.
Ayat yang lalu
menegaskan bahwa si pengumpat yang menumpuk dan menghitung-hitung harta menduga
bahwa harta itu akan mengekalkannya. Ayat diatas membantah dugaan itu sambil
mengancam yang bersangkutan bahwa: Tidak, atau hati-hatilah, Aku bersumpah dia
pasti akan dilemparkan ke neraka
al-hutmah. Untuk menggambarkan betapa ngeri dan pedihnya siksa neraka itu ayat
berikutnya menegaskan “wa maa adraaka”
yakni apakah yang menjadikan engkau mengetahui apakah al-hutmah itu.
AYAT 6-9
نَارُ اللَّهِ
الْمُوقَدَةُ , الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ , إِنَّهَا عَلَيْهِم
مُّؤْصَدَةٌ , فِي عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
“Api Allah yang naik sampai ke hati.
Sesungguhnya ia atas mereka ditutup (rapat-rapat). Pada tiang-tiang yang sangat
panjang”.
Setelah
mengisyaratkan betapa hebatnya neraka dan bahwa dia diluar kemampuan nalar
manusia untuk menjangkaunya, ayat-ayat diatas bagaikan menyatakan bahwa :
Sekedar untuk menggambarkannya sesuai kemampuan kamu, al-hutmah adalah api
Allah yang naik secara sempurna sampai kehati semua pendurhaka. Jangan duga ada
diantara mereka yang dapat menghindar, jangan juga duga bahwa api itu mematikan
mereka karena sesungguhnya ia yakni tempat api itu dikorbankan atas mereka
secara khusus ditutup rapat-rapat sedang para yang tersiksa itu diikat pada
tiang-tiang yang sangat panjang.[4]
B. ASBABUN NUZUL
Pada suatu
waktu Utsman bin Affan dan Abdillah bin Umar berkata: masih terdengar segar
dalam telinga kami, bahwa ayat ke-1 dan ke-2 dari surah al-humazah diturunkan
sehubungan dengan Ubayyin bin Khalaf, seorang hartawan besar dalam kalangan
Quraisy. Ia selalu mengejek dan menghina Rasulullah SAW dengan harta kekayaan
yang dimilikinya”. Ubayyin senantiasa membanggakan harta kekayaan yang
dimiliki, dan beranggapan bahwa ia dapat hidup kekal dengan hartanya, sehingga
tidak perlu beribadah kepada siapapun.[5]
(H.R
Ibnu Abi Hatim dari Utsman dan Abdillah bin Umar).
Ayat ke-1
sampai dengan ayat ke-3, diturunkan sehubungan dengan Akhnas bin Syarik yang
pekerjaan sehari-harinya hanya mengumpat dan mengejek orang lain. Ayat ini
diturunkan Allah SWT, sebagai peringatan dan teguran atas perbuatan yang tidak
terpuji tersebut. Balasan bagi mereka yang tidak memperhatikan peringatan ini,
tidak lain adalah siksa yang sangat dari sisi Allah SWT.
(H.R
Ibnu Abi Hatim dan Suddi)
Ayat ke 1
sampai dengan ayat ke 3, diturunkan sehubungan dengan jamil bin Amir al-jumhi,
seorang pendekar dan tokoh yang musyrik yang pekerjaan dan sehari-harinya hanya
menghina dan mengejek orang lain. Ayat-ayat ini diturunkan sebagai peringatan
dari sisi Allah SWt.
(H.R
Ibnu Jarir dari seorang suku Riqqah)
Ayat-ayat yang
terkandung dalam surah al-humazah diturunkan sehubungan dengan Umayyah bi
Khalaf yang selalu memaki, menghina, dan mencela Rasulluh SAW. Disetiap
kesempatan bertemu. Sejalan dengan itu, maka Allah SWT. Memerintahkan malaikat
jibril untuk menurunkan wahyu yang secara tegas memberikan sanksi hukuman (siksa)
kepada orang kikir dan orang mengumpat. Mereka diancam dengan amuk api neraka
khutamah.
(H.R
ibnu Mundzir dari Abu Ishak)
C. ASPEK KOMUNIKASI DALAM SURAT
AL-HUMAZAH
Dalam
Menganailisis surat al-humazah ini sesuai dengan kontekstual terdapat beberapa
aspek yang terkandung didalamnya yakni politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Yang dimana aspek-aspek tersebut ada karena di setiap komunikasi itu ada yang
namanya komunikator, komunikan dan media.
Komunikasi
adalah proses penyampaian pesan dari individu atau komunikator menggunakan
symbol/ media mempresentasikan suatu makna, pemikiran ide sesuai dengan
lingkungan. Sesuai dengan analisis dari surat al-humazah ini komunikator
berperan dalam menyampaikan pesan kepada komunikannya melalui bahasa/ media.
Yang dimana dalam komunikasi tersebut terdapat suatu masalah atau pokok yang
melahirkan beberapa bidang/ aspek yang tersebut diatas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada surah
Al-Humazah menyinggung tentang pemicu lahirnya sosok pengumpat lagi pencela,
yaitu, "Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung maksudnya
mengumpulkan dan menghitung-hitung harta yang karenanya dia menjadi kikir dan
tidak mau menafkahkannya di jalan Allah. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya."
Ketika manusia
mempersepsikan harta sebagai "segalanya" bahkan menuhankannya karena
mengira harta itu berkuasa atas segala sesuatu, maka beragam sifat dan perilaku
negatif dengan sendirinya akan muncul. Di mata manusia semacam ini, semua orang
bisa diatur dan derajatnya lebih rendah darinya. Maka, menghina, mengumpat dan
mencela orang lain adalah biasa dan lumrah bagi orang yang menghamba kepada
harta.
Kedahsyatan
ancaman bagi pengumpat dan pencela dilukiskan surat ini sejak awal ayat. Bahkan
kata pertamanya adalah ancaman kebinasaan, "Kecelakaanlah bagi setiap
pengumpat lagi pencela." Penyebutan ancaman "Wail",
kecelakaanlah... padahal di akhir surat juga diancam lagi dengan neraka,
memberi pemahaman bahwa ini bisa saja merupakan ancaman kebinasaan dan
kehancuran di dunia sebelum nanti di akhirat dimasukkan ke neraka. Karenanya,
kehidupan pengumpat dan pencela tak akan pernah mendapat ketenangan, kedamaian
dan jauh dari rahmat dan keberkahan Allah, meski bisa saja hidupnya bergelimang
harta. Ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan yang terlihat hanyalah
fatamorgana. Kelak di akhirat, para pengumpat dan pencela akan dimasukkan ke
neraka Huthamah.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian AL-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
Mahali Mudjab, 2002, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah- An- Nas, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada.
[1] Shihab
Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati Hal :511
[2] Shihab
Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati Hal :512
[3] Shihab
Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati Hal :515
[4] Shihab
Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati Hal :517
[5] Mahali
Mudjab, 2002, Asbabun Nuzum: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah- An- Nas,
jakarata: PT raja Grafindo Persada, Hal : 948-949
جزاك الله خيرا
BalasHapus